Metode penyelesaian masalah ataupun upaya pengambilan suatu keputusan didalam masyarakat Melayu ialah dengan cara musyawarah. musyawarah dijalankan di dalam
lumbung yang dipimpin oleh ketua atau pemangku adat setempat. Lumbung
disini bukan hanya tempat penyimpanan padi atau hasil bumi lainnya,
namun juga berfungsi sebagai wadah untuk menyimpan segala aset
masyarakat setempat baik yang bergerak maupun yang diam yang ditujukan
untuk mengangkat harkat dan martabat hidup pribumi setempat. Musyawarah
yang dijalankan biasanya membahas mengenai pengelolaan sistem tanah adat
berdasarkan budaya dan adat setempat.
Sehingga sistem musyawarah yang
dijalankan akan memiliki corak dan karakter yang berbeda antara daerah
yang satu dengan yang lainnya. Disini dapat dilihat bahwa suku Melayu
telah mengenal sistem politik yang egaliter dan mengakar kepada
budayanya. Maka tidak mengherankan bahwa suku Melayu mempunyai ikatan
persaudaraan yang kuat, sebab musyawarah memaknakan adanya
tolong-menolong dan kesetiakawanan sosial sebagai suatu permufakatan.
Musyawarah juga merupakan sarana dimana rakyat dapat diposisikan untuk
membangun aturan-aturan dasar dalam kehidupannya baik pada tatanan nilai
maupun pada tatanan norma yang bersumber kepada hukum adat setempat.
“tegak adat karena mufakat, tegak tuah karena musyawarah”. Acuan ini menyebabkan mereka amat menghormati, menjunjung tinggi, dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari. Apapun bentuk rancangan dan pekerjaan , baik bersifat pribadi, keluarga atau umum harus di musyawarahkan, setidak-tidaknya dalam lingkungan terbatas.
Sistem musyawarah ini lambat laun hilang diakibatkan hancurnya sistem
tanah adat melalui culture stelsel yang diberlakukan oleh kaum
penjajah. Hancurnya sistem tanah adat berakibat kepada mulai hilang dan lunturnya
musyawarah dalam kehidupan masyarakat melayu.
dalam ungkapan adat dikatakan “di dalam musyawarah buruk baikknya akan terdedah” atau “di dalam mufakat, berat ringan sama diangkat”
Menurut adat dan tradisi melayu, bila tercapai kesepakatan dalam musywarah, maka kesepakatan itu menjadi tanggung jawab bersama dan tidak boleh diabaikan. semua pihak yang terlibat tidak boleh berlepas tangan. siapapun yang menyalahi kesepakatan dianggap melanggar adat dan ia menjadi hina dalam pandangan masyarakatnya.
Orang
tua-tua mengatakan, “bila bulat mufakat, berat ringan wajib diangkat”, sebaiknya “siapa ingkar dari mufakat, tanda dirinya tidak beradat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar